October 23, 2025
untuk web

PERJALANAN STTIN JAKARTA: Sebuah Narasi Sejarah

Mimpi yang Terlahir di Pelabuhan

Di tengah hiruk pikuk Pelabuhan Tanjung Priok pada 8 April 1991, sebuah pertemuan bersejarah terjadi di Wisma Pelaut Internasional. Sepuluh hamba Tuhan duduk melingkar, mata mereka berbinar dengan visi yang sama: mendirikan sebuah lembaga pendidikan teologi yang berkualitas untuk bangsa Indonesia. Dipimpin oleh sosok karismatik Rev. Paul M. Suh, Ph.D, bersama dengan Pdt. Edy S. Loekmono, Pdt. Sudarmadji Said, dan Pdt. M.L. Abarua, mereka sepakat melahirkan Sekolah Tinggi Teologi Immanuel Nusantara.

Empat bulan kemudian, tepatnya 28 Agustus 1991, mimpi itu menjadi kenyataan. STTIN resmi berdiri, dan pada 1 September 1991, suara-suara mahasiswa pertama sebanyak 24 orang mulai menggema di gedung SD/SMP Pelita, Kelapa Dua. Mereka adalah perintis, pionir yang tidak tahu bahwa mereka sedang menulis halaman pertama sejarah panjang penuh tantangan.

Tahun-Tahun Mengembara

Seperti bangsa Israel yang mengembara di padang gurun, STTIN pun memasuki masa pencarian identitas dari 1991 hingga 1995. Gedung demi gedung mereka tinggali, dari Kelapa Dua yang hangat, mereka berpindah ke SMEA Kencana pada 1992, kemudian ke Gedung Gereja Baptis Yesus Kristus di Hayam Wuruk pada 1993. Setiap perpindahan membawa cerita tersendiri, setiap lokasi baru adalah pembelajaran tentang ketahanan dan adaptasi.

Di tengah masa sulit ini, cobaan datang bertubi-tubi. Pdt. Edy S. Loekmono, salah satu pendiri, harus meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi di Amerika. Jumlah mahasiswa pun mulai menurun, namun semangat para pengurus tidak pernah padam. Mereka yakin bahwa setiap badai pasti ada ujungnya.

Perjuangan Membangun Legitimasi

Tahun 1995 menjadi momen kebangkitan. Dengan penuh determinasi, sebuah “Tim Tujuh” dibentuk untuk menyusun statuta dan mengurus akreditasi. Tiga tahun mereka berjuang, melawan birokrasi yang rumit, mengumpulkan dokumen demi dokumen, berdoa dan bekerja tanpa lelah.

Jerih payah itu terbayar pada 1998 ketika SK Ijin Penyelenggaraan No. 537 dari Departemen Agama RI akhirnya turun. Kegembiraan memuncak pada 16 Januari 1998, ketika wisuda perdana digelar. Air mata haru bercampur dengan suka cita, STTIN kini telah diakui secara resmi oleh negara.

Badai Terbesar yang Pernah Dihadapi

Namun tantangan seolah belum selesai menguji. Tahun 2000-2001 menjadi periode terkelam dalam sejarah STTIN. Renovasi gedung di Wijaya I memaksa mereka hijrah ke kompleks DPR Kemanggisan. Harapan untuk mendapatkan tempat yang layak pupus ketika pemerintah daerah menutup tempat tersebut hanya setelah dua bulan.

Dalam kondisi putus asa, seperti Elia yang lelah di bawah pohon arar, STTIN hampir menyerah. Namun Tuhan mengirimkan pertolongan melalui Gereja GPSI Pancaran Kasih Allah di Fatmawati, Pondok Labu. Dengan hati yang tulus dan besar, mereka menawarkan ruang Sekolah Minggu dan memberikan sumbangan 500 ribu rupiah per bulan untuk pembelajaran agar berjalan sesuai harapan.

Selama setahun penuh, STTIN bertahan dalam kondisi yang sangat terbatas. Dosen mengajar dengan fasilitas seadanya, mahasiswa belajar dengan semangat pantang menyerah. Periode ini mengajarkan mereka arti sesungguhnya dari kerendahan hati dan ketergantungan kepada Tuhan.

Bangkit dari Keterpurukan

Januari 2001 menandai awal babak baru. STTIN kembali ke Jl. Wijaya I No 41 Kebayoran Baru Jakarta Selatan setelah renovasi selesai. Meskipun fasilitas masih terbatas dan minat mahasiswa menurun hingga 2009, mereka tidak pernah kehilangan harapan.

Sebuah pencapaian penting terjadi ketika alumni pertama, Pdm. Yakobus Kristiyono, M.Div, direkrut sebagai dosen. Ini adalah momen bersejarah STTIN mulai meregenerasi dirinya sendiri, membuktikan bahwa mereka tidak hanya mendidik, tetapi juga melahirkan pendidik.

Kepergian Seorang Pemimpin Besar

16 September 2009, STTIN kehilangan sosok yang telah memimpinnya selama 18 tahun. Rev. Paul M. Suh dipanggil pulang ke rumah Bapa. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, namun juga tekad untuk meneruskan visinya.

Yayasan berkomitmen penuh untuk kebangkitan STTIN. Investasi dalam peningkatan fasilitas mulai dilakukan, dan hasilnya terlihat ketika jumlah mahasiswa baru 2010 melonjak menjadi 45 orang. Pada 28 Maret 2011, tongkat kepemimpinan diserahkan kepada Pdt. Yahya Laudeng, MTh.

Era Transformasi dan Profesionalisasi

Di bawah kepemimpinan Pdt. Yahya Laudeng, STTIN memasuki era transformasi dalam pengembangan STTIN dari 2011 hingga 2019. Seperti Nehemia yang membangun kembali tembok Yerusalem, dia membawa perubahan sistematis dan terstruktur.

Asrama putra dan putri dipisahkan untuk kenyamanan yang lebih baik. Pada 2011, enam dosen tetap diberikan kepangkatan akademik, menandai profesionalisasi yang sesungguhnya. Visi baru diluncurkan dengan semangat: “Menjadi Lembaga Teologi yang unggul dalam Intelektual, Spiritual dan pelayanan Kontekstual.”

Puncaknya terjadi pada 14 Mei 2014, ketika STTIN meraih akreditasi BAN-PT yang pertama. Pencapaian ini seperti meraih puncak gunung yang telah lama didaki. Tahun 2015, website STTIN.id diluncurkan, menandai masuknya institusi ini ke era digital. Komitmen terhadap kualitas terbukti ketika reakreditasi berhasil diperoleh pada 2018-2019.

Refleksi Perjalanan Panjang

Hari ini, ketika kita melihat ke belakang, perjalanan STTIN adalah sebuah epik modern tentang ketekunan dan iman. Dari 24 mahasiswa pertama di gedung SD/SMP Pelita hingga menjadi institusi terakreditasi di Kebayoran Baru, mereka telah melewati enam kali perpindahan lokasi, krisis finansial yang mencekik, dan berbagai tantangan yang menguji mental.

Yang paling mengesankan adalah ketahanan komunitas STTIN, dosen yang mengajar dengan hati, mahasiswa yang belajar dengan semangat, dan pengurus yang melayani dengan dedikasi. Mereka selalu menemukan cara untuk bertahan, bangkit, dan tumbuh.

STTIN hari ini bukan hanya sebuah institusi pendidikan. Dia adalah testimoni hidup bahwa visi mulia yang dipegang teguh dengan komitmen tulus dapat menembus segala rintangan. Dari pelabuhan Tanjung Priok yang hiruk pikuk hingga jalanan Kebayoran Baru yang modern, STTIN membuktikan bahwa tidak ada yang mustahil ketika ada dedikasi sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan sesama.

Sejarah STTIN adalah sejarah iman yang bertumbuh dalam tantangan, harapan yang tidak pernah padam dalam kesulitan, dan kasih yang terus mengalir dalam pelayanan. Setiap halaman perjalanannya ditulis dengan air mata, keringat, dan doa sebuah masterpiece kehidupan yang terus berlanjut hingga hari ini. Tuhan Memberkati

error: Jangan Copy Paste, Tuhan Memberkati